Selasa, 07 Oktober 2008

Cerpen gombal!

Siapa yang tidak jenuh kalau menghadapi suasana seperti yang dialami Arvin. Pelajaran Sejarah di jam terakhir dengan guru yang suka menceritakan ‘sejarah’ hidupnya sendiri. Rasanya seperti dongeng buruk perusak tidur. Namun, entah keajaiban atau rasa jenuh yang sudah merasuk ke tulang. Arvin meletakkan kepalanya di atas meja dan tertidur.

Bel pulang seakan membangunkan Arvin dari tidur pendeknya. Sudah waktunya pulang! Seluruh siswa XI IPS 1 yang tadinya jenuh, langsung berubah ekspresi wajahnya karena gembira. Setelah Pak Guru keluar, seluruh siswa berhamburan keluar dari kelas.

Arvin keluar dari kelasnya yang berada di lantai dua. Ia berjalan sendiri menuruni tangga, hingga keluar dari gerbang sekolahnya. Tak lupa ia membalas sapaan yang ditujukan padanya dengan senyuman. Arvin melanjutkan perjalanannya di tengah teriknya sinar matahari yang terasa membakar kulitnya. Melewati gedung Menza, ia menghentikan langkahnya di bawah jembatan penyeberangan.

Dengan sabar Arvin menunggu angkot M 01 yang lewat. Namun, setiap kali ada yang lewat, tidak pernah tersedia tempat yang kosong untuknya. Buruk banget nasib gue! pikirnya.

Tapi, ternyata hari ini bukanlah hari yang buruk bagi Arvin. Saat ia sedang lelah menunggu, datanglah seorang gadis yang kemudian berdiri di sebelah Arvin. Seragam yang dipakainya menunjukkan bahwa di juga siswa SMA, sama seperti Arvin. Gadis itu sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya yang panjang berwarna hitam, matanya yang indah dihiasi oleh bulu mata yang lentik, hidungnya mancung, lesung pipit seakan menambah keindahan wajahnya. Tidak hanya itu, ia juga memiliki postur tubuh layaknya Supermodel.

Gila! Cantik banget, ‘nih cewek! Perfect! Gue baru liat yang sempurna banget kayak gini. Kenalan nggak, ya? Ah! Malu gue! Ntar kalo dia nganggep gue alay, bisa turun pasaran gue. pikir Arvin.

Arvin memang tampan. Ia adalah tipe cowok yang digemari banyak cewek. Wajahnya terlihat Indo, kulitnya putih, tatapan matanya tajam, hidung mancung, senyuman yang manis, dan tubuh tinggi tegap yang terlatih karena kegemarannya bermain basket.

Mereka berdua pun saling pandang dan tersenyum malu-malu. Diam tanpa ada yang memulai pembicaraan. Tidak lama kemudian, yang dinanti datang juga. M 01 berhenti di depan mereka.

Sial! Giliran gue lagi ngeliatin cewek kayak gini, kok angkotnya dateng, sih? Nasib… nasib…

Dengan terpaksa, Arvin pun duduk di sebelah supir karena tidak ada lagi tempat yang kosong di belakang. Ternyata, gadis itu duduk di sebelah Arvin. Arvin hanya terdiam. Menahan bahagia yang dirasakannya.

“Hey! Lo anak SMA 68, ya? Nama lo siapa?” tanya gadis itu pada Arvin.

“Oh, ya. Gue anak 68. Nama gue Arvin. Nama lo siapa?” tanya Arvin ramah.

“Gue Audi. Audia Pratiwi.”

Percakapan mereka sangat singkat. Namun, bagi Arvin itu adalah hal yang luar biasa. Perjalanan ini baginya merupakan perjalanan panjang yang tak terlupakan. Angkot pun melewati fly-over di Atrium, Senen. Arvin memberhentikan angkot dan segera turun. Entah sebuah keajaiban atau memang sudah ditakdirkan, Audi juga turun dari angkot dan berjalan di sebelah Arvin.

“Lo turun di sini juga?” tanya Arvin.

“Iya, nih! Gue mau nyari buku di Gunung Agung,” kata Audi.

“Wah! Kebetulan banget! Gue juga lagi mau nyari buku, kok! Kalo kita cari buku bareng aja gimana?”

“Yah… tapi gue mau makan dulu, Vin!”

“Ooo… nggak pa-pa. Gue juga mau makan. Laper, nih!”

“Ya udah. Sekalian aja, yuk!”

Mereka pun berjalan menuju ke McDonald. Mereka memesan makanan berupa cheese burger, paket nasi, dan milkshake. Setelah pesanan siap, Audi mengeluarkan dompetnya untuk membayar.

“Audi, nggak usah. Biar gue aja yang bayar,” ujar Arvin sambil mengeluarkan dompetnya dengan tergesa-gesa.

“Aduh… Nggak pa-pa, nih, Vin?”

“Udah… Santai aja! Uang gue lagi lebih, kok!”

Empat puluh lima ribu rupiah melayang begitu saja hanya karena seorang wanita cantik. Sungguh gila… Makan siang terasa indah kalau ditemani oleh gadis seperti Audi. Audi sangat ramah dan merupakan teman berbicara yang menyenangkan. Dari percakapan itu juga, Arvin mengetahui bahwa Audi baru saja mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba debat yang diadakan oleh Depdiknas. Hal itu semakin meyakinkan Arvin kalau Audi adalah gadis yang paling sempurna.

Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan ke toko buku. Inilah tujuan Arvin yang sebenarnya hingga mengantarkannya bertemu dengan Audi.

Setengah jam cukup bagi mereka untuk mencari buku. Mereka pergi ke kasir untuk membayar. Tapi, lagi-lagi Arvin mencegah Audi untuk membayarnya sendiri.

“Arvin, kok dari tadi lo terus, sih, yang bayarin gue? Gue jadi nggak enak, nih. Lagian kita kan baru kenal,” ujar Audi. Dari wajahnya, terlihat bahwa ada perasaan tidak enak.

“Nggak pa-pa. Anggap aja hadiah perkenalan,” jawab Arvin. Ia membayar buku-buku yang mereka beli.

Lalu, mereka keluar dari toko buku dan berjalan menuju pintu keluar. Di sana mereka saling bertukar alamat dan nomor telepon yang diberikan lewat secarik kertas. Tidak lama kemudian, sebuah mobil Honda Jazz berwarna hitam berhenti tepat di depan mereka. Di dalam mobil itu terdapat seorang pria tampan. Dari penampilannya, terlihat bahwa ia adalah seorang mahasiswa. Audi pun masuk ke mobil itu.

“Arvin, gue duluan, ya! Dah…” ujar Audi.

Arvin kesal karena merasa sudah dibohongi oleh gadis yang paling sempurna di matanya. Kertas berisi alamat dan nomor telapon itu disobeknya. Tidak bisa dipungkiri lagi. Hari ini memang hari tersial yang pernah dialaminya.

***

Sabtu ini tim basket putra SMA 68 berlatih di sekolah. Begitu juga dengan Arvin yang merupakan anggota dari tim inti. Setelah satu jam berlatih, pelatih memberikan waktu beberapa menit untuk beristirahat. Tiba-tiba, terdengar bunyi handphone bergetar dari tas Arvin. Nomor yang muncul tidak ada di daftar contact-nya. Ia menjawab panggilan itu dengan agak malas.

“Halo, ini siapa ya?”

“Arvin, ini gue, Audi.”

“Audi mana, ya?”

“Masa lo lupa, sih? Audi yang waktu itu nyari buku sama lo di Atrium.”

“Oh, elo. Ada apa?”

Kini yang ada di hati Arvin hanyalah rasa kesal.

Ngapain nih cewek nelpon gue? Nggak puas udah mainin gue tempo hari?

“Vin, sebelumnya sorry, ya, kemarin gue ninggalin lo. Soalnya kakak gue buru-buru.”

“Hah? Jadi yang kemarin itu kakak lo?”

“Iya, lah! Emang siapa?”

Arvin hanya bisa diam. Ia kaget. Ternyata dirinya masih diberikan kesempatan untuk mendekati Audi.

“Halo, Arvin!”

“Ya,” nada bicara Arvin berubah menjadi ramah dan antusias, seperti saat ia pertama kali bertemu Audi.

“Lo mau nggak nemenin gue ke acara ultah temen gue dua minggu lagi?”

“Boleh, boleh. Hari apa?”

“Sabtu. Bisa nggak?”

“Bisa, lah! Gampang.”

Tiba-tiba terdengar suara peluit yang menandakan bahwa waktu istirahat telah usai. Teman-teman Arvin sudah berada kembali di lapangan.

“Audi, udah dulu, ya! Ntar gue telepon lagi.”

Arvin mematikan handphone-nya dan memasukannya ke dalam tas. Ia kembali memasuki lapangan.

Tunggu! Gimana caranya gue nelpon Audi? Kertas alamat sama nomor teleponnya ‘kanperfect dia cuma karena kecerobohan gue? Nggak akan! Pokoknya gue bakal cari Audi sampai ke ujung dunia. Apapun caranya. udah gue sobek! Tolol banget, sih, Arvin! Masa gue harus kehilangan cewek se-

***

Kali ini Arvin benar-benar dilanda kebingungan. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanyalah menganalisis setiap kata yang diucapkan Audi saat mereka bertemu. Audi tidak menyebutkan di mana sekolahnya. Nomor yang digunakan untuk menghubungi Arvin hari itu adalah telepon wartel yang sudah jelas tidak bisa dihubingi. Audi hanya mengatakan bahwa ia sedang mengikuti lomba debat di Depdiknas.

“Diknas! Tante Diana kerja di sana. Gue bakal minta tolong dia buat cari data Audi. Pasti masih ada data peserta lomba debat!”

Dengan semangat 45, Arvin menghubungi tantenya. Ia menceritakan semuanya, namun versinya berbeda. Kali ini Arvin mengatakan kalau ia ingin mengembalikan buku milik Audi yang baru dikenalnya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat alasan meminta data peserta. Ia memohon dengan sangat hingga Tante Diana setuju dan mau membantu.

Tiga hari kemudian, Arvin datang ke rumah Tante Diana. Ternyata, Tante Diana berhasil mendapatkan data-data tentang Audi.

“Vin, kamu serius kalo nama anak itu Audia Pratiwi?” tanya Tante Diana.

“Serius, tante. Emang kenapa?”

“Dari data yang tante dapet, cuma ada nama dan alamat sekolahnya. Yang namanya Audia Pratiwi itu sekolah di SMA 6 Jogja. Yakin kamu mau ketemu dia?” Tante Diana terlihat tidak yakin pada keponakannya.

“Yakin banget, tante. ‘Kan biar bisa langsung ngucapin terima kasih,” jawabnya singkat.

Tante Diana memberikan kertas berisi alamat sekolah Audi. Arvin mengucapkan terima kasih dan pulang dengan gembira.

Sekarang udah hari Kamis. Waktu gue tinggal seminggu! Sabtu ‘kan gue libur. Berarti besok sore gue harus berangkat ke Jogja naik mobil. Untung mobil gue udah balik dari bengkel. Tabungan gue juga udah lebih dari cukup buat tidur di hotel. Tapi, gue nggak akan enak-enakan sebelum ketemu Audi. Semoga aja hari Sabtu sekolahnya buka. Jadi gue bisa lebih gampang buat cari tau tentang dia.

Sesampainya di rumah, Arvin segera menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Jogja. Lalu, ia langsung tertidur lelap. Menyiapkan tenaga untuk besok.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Arvin sudah siap dengan segala perlengkapannya. Mobilnya juga sudah dalam kondisi prima. Ia sudah siap untuk menempuh perjalanan 10 jam Jakarta-Yogyakarta. Dengan niat yang mantap, Arvin pun berangkat.

Hanya orang gila yang mau melakukan perjalanan seperti itu sendirian sambil mengendarai mobil. Mungkin cinta yang membuat Arvin begitu. Lelah di tubuhnya sudah tidak terasa lagi. Rasa kantuk dengan mudah dapat dikalahkannya. Maka, tidak heran kalau ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘cinta itu buta’.

Arvin benar-benar melakukan perjalanan non-stop. Ia hanya berhenti jika hendak makan atau mengisi bensin. Maka, pukul 1 dini hari ia sudah memasuki kota Jogja. Masih banyak waktu untuk beristirahat sampai pagi tiba. Arvin memutuskan untuk beristirahat di penginapan.

Tak terasa sekarang sudah jam 8 pagi. Perlahan Arvin membuka matanya. Istirahat selama 6 jam terasa cukup untuk menggantikan segala lelahnya. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dan bersiap untuk mandi. Masih berkobar semangat di hatinya untuk menemukan Audi. Satu jam kemudian, ia melanjutkan petualangannya untuk mencari di mana SMA 6 Jogja.

Selama perjalanan, yang bisa dilakukan Arvin hanyalah memperhatikan nama jalan dan kertas bertuliskan alamat yang diberikan Tante Diana. Ada kalanya ia bertanya pada orang lain. Lalu, ia berhasil menemukan sekolah Audi. Untungnya, di seberang sekolah itu terdapat KFC. Maka, Arvin menunggu di sana sampai waktunya pulang sekolah.

Arvin sering kali memperhatikan jam tangannya. Saat ini waktu menunjukkan pukul 11:30. Belum waktunya pulang sekolah. Dengan sabar ia menunggu sampai makanan pesanannya habis. Ia duduk dan melamun. Terkadang ia ragu, apakah jalan yang diyakininya itu benar atau salah. Tidak lama kemudian, semua itu terjawab.

Segerombolan anak perempuan berpakaian seragam SMA memasuki KFC. Mereka terdiri dari empat orang. Mereka mencuri pandang ke arah Arvin yang tampan. Arvin membalas memperhatikan mereka. Ia merasa mengenali salah satu dari gadis-gadis itu. Ia pun tercengang saat gadis yang diperhatikannya itu mendatanginya.

“Arvin, ya? Kok bisa ada di sini?” tanya gadis itu.

“Audi? Ini Audi, ‘kan? Gue masih inget banget sama lo!”

Mereka pun tertawa. Wajah mereka memerah karena malu. Jalan yang ditempuh Arvin benar. Saat ini ia sedang berada di depan Audi.

Audi memperkenalkan Arvin pada teman-temannya. Mereka dapat cepat akrab. Ternyata, saat ini Audi dan kawan-kawannya sedang bolos. Mereka bercerita tentang banyak hal pada Arvin. Setelah selesai makan, teman-teman Audi pulang terlebih dahulu. Tinggallah Arvin dan Audi yang ada di sana.

“Vin, lo ‘kan belom cerita kenapa lo bisa ada di sini!” ujar Audi.

“Alasannya simple. Karena gue pengen ketemu lo.”

Mereka berdua diam sejenak. Tidak ada yang mampu mencairkan suasana.

“Gue pengen nanggepin undangan lo ke pesta ultah temen lo. Tapi gue udah ngilangin kertas alamat dan nomor telepon lo. Jadi, gue cari berbagai cara biar bisa ketemu lo. Finally, here I am.” jelas Arvin.

“Lo rela jauh-jauh dari Jakarta cuma buat ketemu gue?” tanya Audi.

Arvin hanya mengangguk.

“Sekarang gue mohon lo mau ngasih alamat dan nomor telepon lo lagi. Gue janji, kali ini nggak bakal ilang lagi,” pinta Arvin.

“Asal lo tau, gue nggak mau ngasih semua itu ke sembarang orang.”

Audi menuliskan alamat dan nomor teleponnya pada secarik kertas.

“Dengan syarat, lo harus nemenin gue hari ini. Oke?” kata Audi.

“Oke!”

Alamat yang diberikan oleh Audi adalah alamat rumahnya di Jakarta. Kakak Audi kuliah di sana. Bahkan, ada rencana kalau Audi juga akan dipindahkan ke Jakarta untuk bersekolah bersama kakaknya.

Hari ini mereka lewati berdua. Kebahagiaan terpancar di wajah mereka, terutama Arvin. Ia menemani Audi kemana pun yang ia suka. Tidak peduli selelah apapun tubuhnya. Baginya, melihat Audi bahagia sudah lebih dari cukup.

Seminggu kemudian, Arvin datang menjemput Audi di rumahnya yang berada di Kebayoran, Jakarta. Malam itu Audi terlihat sangat cantik. Arvin pun terlihat sangat tampan. Di pesta ulang tahun itulah Audi menerima cinta Arvin.

***







Cerpen di atas gw buat gara" ada tugas Bahasa Indonesia waktu kls 2. Ga nyangka gw! ternyata tu cerpen tolol masih ada di komputer gw! hahahaha... Dasar cerpen ga mutu!

judulnya 'Capeknya Mencari Dia'.

gw bikin malem",sambil SMS-an sama someone..

who inspired me to wrote that story..


bwt dia,gw cuma ngucapin terima kasih, karena udah ngisi hari" gw saat itu & membuat gw dpt nilai Bahasa.

Thanks a lot ya,

Didi...

Tidak ada komentar: